PRINSIP DAN KAIDAH KEHUMASAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
      Sekolah/madrasah dituntut untuk menjamin kemajuan pengetahuan dan kemajuan sosial, dengan menjadi pelaku aktif dalam perbaikan masyarakat. Oleh karena itu, sekolah/madrasah merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat, bahkan pertumbuhan dan perkembangan sekolah/madrasah selaras dengan tuntutan dari masyarakat. Dalam perjalanan pertunbuhan kelembagaannya, sekolah/madrasah memang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitarnya sehingga dari hal itu tercipta kerjasama yang harmonis antara keduanya.
Hubungan sekolah/ sekolah Islam dengan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah Islam atau pendidikan Islam secara efektif dan efisien. Sebaliknya sekolah juga harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah Islam berkewjiban untuk memberi penerangan tentang tujuan-tujuan, program-program, kebutuhan, serta keadaan masyarakat. Sebaliknya, sekolah Islam juga harus mengetahui dengan jelas apa kebutuhan, harapan, dan tuntutan masyarakat, terutama terhadap sekolah Islam. Dengan perkataan lain antara sekolah dan masyarakat harus dibina suatu hubungan yang harmonis.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Prinsip dan kaidah kehumasan dalam perspektif Al Quran?
2.      Bagaimana Prinsip dan kaidah kehumasan dalam perspektif Hadist?
3.      Bagaiman Etika humas dalam  perspektif islam?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PRINSIP DAN KAIDAH KEHUMASAN DALAM PERSPEKTIF AL QURAN

Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yaitu:
1.       Qaulan Sadida (perkataan yang benar, jujur)

وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (Q.S An nisa’ ayat 09)

2.       Qaulan Baligha (tepat sasaran, komunikatif, to the point, mudah dimengerti)

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ وَعِظۡهُمۡ وَقُل لَّهُمۡ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَوۡلَۢا بَلِيغٗا ٦٣

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (Surat An-Nisa’ ayat 63 )

3.       Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik)

يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٣٢
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik,

4.       Qaulan Karima (perkataan yang mulia)

۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah"dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
5.       Qaulan Layyinan (perkataan yang lembut)

 ٱذۡهَبَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ ٤٣ فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ
Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut"
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.[1]
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Al A’raaf ayat 55)
6.       Qaulan Maysura (perkataan yang ringan)

وَإِمَّا تُعۡرِضَنَّ عَنۡهُمُ ٱبۡتِغَآءَ رَحۡمَةٖ مِّن رَّبِّكَ تَرۡجُوهَا فَقُل لَّهُمۡ قَوۡلٗا مَّيۡسُورٗا ٢٨
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas.
Itulah beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan secara umum mengenai komunikasi uang harus di jalankan oleh manusia pada khususnya.
B.     PRINSIP DAN KAIDAH KEHUMASAN DALAM PERSPEKTIF HADIST
Di dalam hadits Nabi SAW juga ditemukan prinsip-prinsip etika komunikasi, bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan berkomunikasi kepada kita. Berikut hadits-hadits tersebut:,
Pertama,Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya (Riwayat Bukhori dan Muslim.
Kedua,  قل الحق ولو كان مرا qulil haqqa walaukana murran (katakanlah apa yang benar walaupun pahit rasanya),
Ketiga, لاتقل قبل تفكر    (laa takul qabla tafakur (janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu).
Keempat, Nabi SAW menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya,
Sebutkanlah apa-apa yang baik mengenai sahabatmu yang tidak hadir dalam pertemuan, terutama hal-hal yang kamu sukai terhadap sahabatmu itu sebagaimana sahabatmu menyampaikan kebaikan dirimu pada saat kamu tidak hadir”.
Kelima, selanjutnya Nabi SAW berpesan,
Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang…yaitu mereka yang memutar balikan fakta dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya”.
Pesan Nabi SAW tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami.
Prinsip-prinsip tersebut, sesungguhnya dapat dijadikan landasan etika bagi setiap muslim, ketika melakukan proses komunikasi, baik dalam pergaulan sehari-hari, berdakwah, maupun aktivitas-aktivitas lainnya. ungkapan arab mengatakan;
سلامة الإنسان  في حفظ اللسان
Keselamatan seseorang terletak dalam menjaga lisan.[2]
C.    ETIKA HUMAS DALAM  PERSPEKTIF ISLAM.
Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan Hadits (Sunah Nabi). Serta komunikasi yang menimbulkan kebaikan baik untuk sendiri maupun untuk orang lain, sebagaimana ungkapan mengatakan:
Keselamatan seseorang terletak dalam menjaga lisan.
Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah SWT selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah SAW untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan Hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.
Komunikasi sangat berpengaruh terhadap kelanjutan hidup manusia, baik manusia sebagai hamba, anggota masyarakat, anggota keluarga dan manusia sebagai satu kesatuan yang universal. Seluruh kehidupan manusia tidak bisa lepas dari komunikasi. Dan komunikasi juga sangat berpengaruh terhadap kualitas berhubungan dengan  sesama. Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesan-pesan keislaman dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam.
Dengan pengertian demikian, maka komunikasi Islam menekankan pada unsur pesan (message), yakni risalah atau nilai-nilai Islam,dan cara (how),dalam hal ini tentang gaya bicara dan penggunaan bahasa (retorika).
Pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan akhlak (ihsan). Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam. Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.














BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Hubungan masyarakat adalah usaha untuk mencapai hubungan yang harmonis antara satu sekolah dengan masyarakat melalui satu proses komunikasi timbal balik atau dua arah.
Menurut Oemi Abdurrahman M.A hubungan masyarakat adalah menumbuhkan hubungan baik antara segenap komponen pada suatu lembaga dalam rangka memberikan pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi.
 Fungsi utama hubungan masyarakat adalah menumbuhkan dan mengembangkan hubungan baik antara lembaga/ organisasi dengan publiknya, intern dan ekstern, dalam menanamkan pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi publik dalam upaya menciptakan pendapat yang menguntungkan lembaga/ organisasi.
 Tujuan sentral humas yang akan dicapai adalah tujuan organisasi, sebab humas dibentuk atau digiatkan guna menunjang manajemen yang berupaya mencapai tujuan organisasi.







DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin dan  Moh. Makin .2010 Manajemen Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki PRESS
M. Amirin, Tatang. 2011. Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Mulyasa. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sulistyorini. 2009. Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta: TERAS.
Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta:PT Rineka Cipta.
Uchjana Effendy, Onong. 2006. Hubungan Masyarakat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Qomar, Mujamil. 2007. Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
www.suaramuhibbuddin.wordpress.com  (02-11-2016, pukul 09.00 WIB)





[1] Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2011), hlm. 725.
[2] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, hlm. 251.


EmoticonEmoticon